Di sebuah tempat di daerah Tumbang Manjul tepatnya kurang lebih 43 kilo meter dari Desa Tumbang judul Manjul terdapat mitos tentang sebuah kerajaan makhluk baik.
Konon diceritakan bahwa di Sungai Mandaham desa Tumbang Manjul
terdapat gaib yaitu Perek Rango yang dikuasai oleh titisan dari dewa
angin.
Pada jaman dahulu sebuah hutan belantara yang tak jauh dari muara
Sungai Mandaham hiduplah sepasang suami istri yaitu nyai Rangkas dan
Sangkajang.
Nyai Rangkas adalah keturunan dari makhluk gaib yang tinggal di
kawasan Bukit Kejayah namun karena ia jatuh cinta dan kimpoi dengan
Sakajang keturunan manusia biasa maka ia diusir dari Kerajaan Kejayah.
Demi suami tercintanya Sakajang Nyai Rangkas rela meninggalkan
keluarganya hingga akhirnya mereka tinggal di hutan dekat muara Sungai
Mandaham. Karena saling mencintai hidup pasangan suami istri itu sangat
rukun bahagia. Dalam kebersamaan mereka selalu saling membantu dan
saling melengkapi kekurangan satu sama lainnya.
Setelah sekian lama bersama akhirnya mereka menyadari bahwa ada yang
kurang dari kebahagiaan yang telah mereka nikmati selama ini, karena
sudah sekian lama mereka hidup bersama namun pasangan suami istri itu
belum juga dikaruniai keturunan. Untuk memperoleh keturunan pasangan
suami istri itu rela melakukan apa saja, sudah berbagai macam ramuan
mereka gunakan namun belum juga dikarunia seorang anak sampai pada suatu
malam Nyai Rangkas bermimpi ia akan mendapatkan keturunan yang
dititiskan oleh dewa angin namun untuk memperolehnya ia harus melakukan
pada malam bulan purnama, dan ritual pertapaan itu dilakukan di sebuah
batu besar di tepi Sungai Mendahan sebelah hulu.
Malam berganti fajar Nyai Rangkas terjaga dari mimpi. Kemudian ia
bangun dan keluar dari gubugnya untuk melihat keadaan sekeliling rumah
mereka kemudian ia masuk kembali dan duduk di samping suaminya sambil
memikirkan mimpinya mendapat keturunan. Tak lama kemudian suaminya
bangun dan iapun menghampiri suaminya untuk menceritakan perihal tentang
mimpinya itu kepada sang suami tercinta, dan sang suami pun
mendengarkan dengan baik cerita istrinya. Namun setelah mendengar cerita
dan istrinya, Sakajang merasa resah dan kebingungan menentukan sikap.
Di satu sisi ia ingin sekali melihat istrinya bahagia dengan mendapatkan
keturunan yang dititiskan oleh dewa angin namun di sisi lain ia tidak
tega jika harus membiarkan istrinya sendiri di hutan selama sembilan
hari sembilan malam dan hatinyapun tidak ingin berpisah dengan istri
tercintanya. Walaupun hanya dalam waktu sebentar. Sebaliknya Nyai
Rangkas ingin sekali melaksanakan ritual pertapaan seperti yang
ditunjukkan dalam mimpinya, ia merasa sangat yakin kalau ia menjalankan
pertapaan tersebut.
Namun sayang suami Nyai Rangkas tidak mengijinkannya untuk pergi
bertapa meski ia sudah berkai-kali memohon agar suaminya memberikan ijin
sampai pada suatu malam dimana pada malam itu merupakan bulan purnama
yang telah ditunggu-tunggu oleh Nyai Rangkas, ia pergi diam-diam dari
sisi suaminya yang sedang tidur lelap. Dengan langkah mengendap-endap
Nyai Rangkas pergi keluar meninggalkan suaminya menuju hutan dengan
menyusuri tepi sungai Mandahan dan untuk mencari batu besar sebagai
tempat melakukan ritual pertapaan seperti yang ditunjukkan dalam
mimpinya. Karena pada malam itu cahaya bulan terang sekali sehingga Nyai
Rangkas tidak mengalami banyak kesulitan dalam perjalanan, sampai
akhirnya ia menemukan batu besar seperti yang ada dalam mimpinya.
Setibanya ditempa tujuan Nyai Rangkas mengelilingi batu besar
tersebut untuk mencari jalan naik menoleh ke kiri dan tekanan serta
sesekali membalikkan badan untuk melihat keadaan di sekitarnya. Sesaat
ia tempat kebingungan tiba-tiba terdengar suara seruan “Nyai Rangkas
jika kau ingin mendapatkan seorang anak dari titisanku maka lakukanlah
ritual pertapaan ditengah batu besar itu selama sembilan hari sembilan
malam dengan posisi duduk menghadap arah matahari terbit”.
Mendengar suara seruan itu Nyai Rangkas merasa semakin yakin dengan
firasat mimpinya, hingga akhirnya iapun duduk ditengh batu besar
tersebut dengan posisi menghadap arah matahari terbit.
Dengan penuh keyakinan Nyai Rangkas melakukan ritual pertapannya,
sementara sama suami yang ia tinggalkan panik dan bingung karena melihat
isterinya tidak ada di rumah. Ketika hari mulai terang ia mencari
isterinya di sekiling rumah tempat mereka tinggal seraya memanggil “Nya,
… dimana kamu ! Nyai .. pulanglah ! sang suami terus memanggil nama
isterinya sampai matahari hampir terbenam namun ia tak juga menemukan
isteri tercinta. Karena hari sudah mulai gelap ia pun kembali pulang ke
rumah meski ia sangat khawatir sekali dengan keadaan isterinya.
Malam sudah semakin larut namun Sakajang pun tak mampu memejamkan
mata karena memikirkan kemana perginya sang isteri. Ketika melamunkan
nasibnya yang sudah ditinggalkan sang isteri tercinta tiba-tiba sekarang
teringat akan mimpi isterinya dan keringinannya untuk pergi bertapa
mencari keturunan…..
Semalaman Sakajang tak bisa tidur dan pagi-pagi ia pergi ke hutan
untuk mencari isterinya.
Ia menelusuri hutan tepi sungai mandahan namun
anehnya ia tidak menemukan tempat seperti yang diceritakan istrinya,
meski demikian ia tetap tidak putus asa sampai akhirnya ia berjalan di
sebuah rawa dan bertemu dengan seekor serigala yang sangat buas. Meski
demikian Sakajang tetap tegar menghadapinya. Langkah demi langkah
serigala buas itu mendekati Sekajang dengan cakar dan taringnya yang
panjang seolah-olah siap menerkam hingga akhirnya terjadi perkelahian
antara Sekajang dan serigala buas itu. Mereka saling bergelut di tanah
rawa yang berlumpur .
Dalam perkelahian itu Sakajang terluka dan jatuh terkapar di atas
lumpur sehingga dengan mudah serigala buas itu menerkamnya kembali dan
menancapkan taringnya pada bagian tubuh Sakajang hingga akhirnya tewas
dan menjadi santapan serigala yang kelaparan tadi. Alangkah malangnya
nasib Sakajang, bertujuan pergi mencari istri tercinta namun di
perjalanan menjadi mangsa serigala buas.
Hari demi hari berlalu, ritual pertapaan telah dilakukan oleh Nyai
Rangkas dengan sempurna, dan ketika ritual itu selesai tiba-tiba angin
bertiup dengan sangat kencang, langit tampak bercahaya kemudian
terdengar kembali seruan “Nyai Rangkas sekarang kamu telah mendapatkan
yang kamu inginkan, tugas kamu adalah memelihara titisanku itu dengan
baik karena suatu saat ia akan menjadi pembawa kedamaian bagi sebuah
kerajaan yang sedang dalam kekacauan!”
Mendengar suara seruan tersebut Nyai Rangkas merasa semakin yakin
kalau ia telah mengandung seorang anak yang dititiskan oleh dewa angin.
Karena ritual pertapaan telah selesai maka Nyai Rangkas pun turun dan
meninggalkan batu besar itu dengan hati yang berbunga-bunga. Ia kembali
menyusuri tepi sungai dan pulang ke rumah dengan harapan memberikan
kejutan untuk suami tercintanya.
Setibanya di rumah Nyai Rangkas melihat keadaan rumah sepi, senyap
dan berantakan kemudian ia memanggil-manggil suaminya. Abang … abang …
abang ada dimana ? saya ada berita gembira untuk abang ! setelah
beberapa kali memanggil suaminya Nyai Rangkas tak jua mendengarkan
jawaban dari suaminya. Hingga kemudian Nyai Rangkas keluar dan mencari
suaminya di sekitar halaman rumah mereka. Karena suaminya tak ditemukan
Nyai Rangkaspun pulang kembali ke rumah. Awalnya ia berpikir kalau
suaminya hanya pergi sebentar ke hutan untuk mencari makanan atau
berburu. Hari demi hari berlalu, sang suami yang dinanti tak jua datang
sementara perut Nyai Rangkas semakin membesar dan harapan berkumpul
kembali dengan sang suami tercinta sirna, dan perlahan-lahan merasa
kesepian dan kehilangan suaminya Nyai Rangkas memutuskan untuk pergi ke
hutan untuk mencari suaminya.
Ketika matahari terbit Nyai Rangkas pun berangkat kehutan untuk
mencari suaminya dengan membawa bekal seadanya ia bertekad tidak akan
pulang tanpa suaminya. Dalam perjalanan menyusuri hutan ia melewati
rawa-rawa tempat suaminya tewas diterkam serigala. Saat ia melihat
keatas tiba-tiba ada seekor burung hitam menjatuhkan kotorannya iapun
merasa kejadian itu pertanda bahwa hal buruk telah terjadi dan seketika
pula perasaannya Nyari Rangkas jalan dan tanpa sengaja kakinya
tersandung kayu sehingga ia pun terjatuh, dan tanpa sengaja pula tangan
Nyai Rangkas tertuju pada sebuah gelang dari batu yang tergeletak di
atas tanah, dimana di sekitar gelang tersebut juga terdapat
tulang-tulang bangkai manusia. Melihat gelang tersebut Nyai Rangkas
berkata dalam hati “Gelang ini adalah milik suamiku, oh dewa apakah yang
terjadi pada suamiku” dan kemudian ia berteriak kencang
memanggil-manggil suaminya” sekarang …. Suamiku … dimana kamu sekarang
!!! karena tak kuasa menahan rasa sedih tubuh Nyai Rangkas gemetar
kemudian pingsan.
Tidak tahu datang dari arah mana tiba-tiba datang seorang nenek
menghampiri dan membawa Nyai Rangkas ke sebuah Gua. Yang mana gua
tersebut tak jauh dari tempat Nyai Rangkas bertapa untuk memohon
diberikan seorang anak. Saat sadar Nyai Rangkas merasa heran dan ia
tidak tahu dirinya berada dimana. Lalu ia duduk, sambil memperhatikan
keadaan sekelilingnya. Tiba-tiba datang seorang nenek tua membawa
segelas air untuk Nyai Rangkas seraya mengatakan “sebaliknya Nyai minum
air ini dulu agar badan Nyai lebih segar, dan Nyai jangan teralu banyak
bergerak karena badan Nyai masih lemah” Nyai Rangkas pun menjawab “Tapi
saya sekarang ada dimana ne dan siap nenek sebenarnya ? dari mana nenek
mengetahui nama saya” nenek tua itupun menjawab “nenek ditugaskan oleh
dewa angin untuk menjaga Nyai dan anak yang ada dalam kandungan Nyai.”
Nyai rangkas masih bingung dengan kejadian-kejadian yang menimpanya
sesaat ia tercengang dan teringat akan suaminya, ia merasa menyesal
telah meninggalkan suaminya waktu itu. saat Nyai Rangkas merenungi
nasibnya, nenek tua itu datang kembali menghampirinya membawa makanan
untuk Nyai Rangkas. Kemudian nenek itu mengatakan “sudahlah Nyai, jangan
terlalu sedih kau memikirkan kepergian suamimu, karena itu sudah
menjadi takdirnya” Nyai Rangkas menjawab “Tapi ne saya sangat
mencintainya! Saya tak mampu hidup tanpanya. “Nenek tua itu menjawab
lagi “nenek mengerti dengan perasaan nyai! Tapi yang harus Nyai lakukan
sekarang adalah memikirkan keadaan anak yang ada dalam kandungan
Nyai”……..
Hari terus berganti, Nyai Rangkas terus menjalani hidupnya di gua
bersama nenek tua yang diutus oleh dewa angin untuk menjaga ia dan
bayinya. Hingga akhirnya Nyai Rangkas melahirkan seorang anak laki-laki
yang mana anak tersebut ia beri nama Mandangin.
Bersama nenek tua itu
Nyai rangkas merawat dan menjaga Mandangin hingga Mandangin tumbuh
menjadi seorang anak yang tampan dan baik hati.
Seiring dengan berjalannya waktu Mandangin tumbuh dewasa. Ia tampan,
kuat, dan baik hati serta suka menolong siapa saja yang membutuhkan
pertolongannya, selain itu ia juga sangat berbakti kepada ibunya. Meski
memiliki banyak kelebihan mandangin tidak pernah menyombongkan diri dan
ia juga tidak pernah mengeluh tidak pernah dalam keadaan serba
kekurangan dan tanpa seorang ayah.
Sampai pada suatu hari ketika ia berburu di hutan ia melihat ada
sebuah batu besar dan ia merasakan melepas rasa penasarannya mandangin
naik keatas batu besar itu. tiba-tiba ia mendengar suara seruan yang ia
pun tak tahu suara tersebut datang darimana “Mandangin jika kau ingin
mendapatkan kekuatan dan kesaktian, lakukanlah pertapaan di atas batu
itu selama satu purnama”, Seketika suara itu menghilang, Mandangin
tercengang sesaat kemudian ia pergi meninggalkan batu besar itu dan
pulang kembali ke gua dengan membawa hasil buruannya.
Namun sepulangnya dari batu besar itu mandangin tidak berbicara satu
katapun kepada ibunya. Wajah dan perilakunya tampak seperti orang
kebingungan. Melihat kelakuan Mandangin yang tidak sama seperti
hari-hari biasanya Nyai Rangkas mengampiri Mandangin dan bertanya “ada
apakah gerangan yang terjadi denganmu anakku ? sepertinya kamu sedang
bingung”.
Mendengar pertanyaan ibunya Mandanginpun menceritakan tentang
kejadian yang ia alami saat pergi berburu. Mendengar cerita anaknya Nyai
Rangkas terdiam. Ia bertanya dalam hati “apakah suara itu adalah suara
dewa angin”. Tapi ia mencoba mengalihkan perhatian anaknya dengan
mengatakan “mungkin itu hanya halusinasimu saja anakku” Mandangin
menjawab mungkin juga ibu”! ia mengiyakan perkataan ibunya meski ia
merasa yakin kejadian itu nyata.
Malam semakin larut dan ke adaan sunyi senyap Nyai Rangkas tak bisa
tidur karena ia terus memikirkan tentang cerita anaknya. Melihat Nyai
Rangkas tidak bisa tidur nenek Kiap menghampirinya dan bertanya “apakah
gerangan yang kau pikirkan Nyai ? sampai-sampai kau tak bisa tidur”
mendengar pertanyaan nenek Kiap Nyai Rangkas langsung menceritakan
kejadian yang dialami oleh Mandangin ketika pergi berburu.
Mendengar cerita itu nenek Kiap berkata kepada Nyai Rangkas “Nyai
mungkin sekarang sudah waktunya Nyai membiarkan Mandangin untuk pergi
mengembara dan menjalankan takdirnya sebagai pembela kebenaran”.
Kemudian Nyai Rangkas bertanya pada nenek Kiap. “Lalu apa yang harus
saya lakukan untuk Mandangin Ne” nenek Kiap menjawab “Besok pagi kau
siapkan bekal untuk Mandangin dan kau suruh dia pergi mengembara untuk
menegakkan kebenaran. Namun sebelum pergi suruh dia bertapa terlebih
dahulu selama satu purnama di batu besar seperti yang telah diserukan
oleh dewa angin kepadanya.
Malam berganti pagi Nyai Rangkas sibuk menyiapkan bekal untuk
Mandangin pergi mengembara. Ketik matahari naik dari ufuk timur Nyai
Rangkas menghampiri Mandangin yang baru saja selesai makan. Ia berkata
“wahai anakku sekarang kau sudah menjalankan takdirmu. Namun sebelu kau
pergi mengembara kau pergi lakukanlah ritual pertapaan seperti yang
telah diserukan oleh dewa angin kepadamu agar kamu mendapatkan kesaktian
sebagai bekal melindungi diri dan membela kebenaran”. Mandangin
menjawab “Tapi bagaimana dengan ibu? Saya tidak tega meninggalkan ibu di
sini!”. Mendengar pertanyaan anaknya dengan berat hati Nyai Rangkas
mengatakan” sudahlah anakku, jangan kau pikirkan keadaan ibu suatu saat
kau pasti akan bertemu lagi dengan ibu”!.
Dengan berat hati pagi itu Nyai Rangkas melepaskan kepergian anaknya
tercinta dan mandangin pun pergi meninggalkan gua yang menjadi tempat
berteduh selama dalam asuhan ibunya. Dalam perjalanannya menyusuri hutan
menuju tempat pertapan tanpa sengaja ia melihat seorang perempuan
cantik turun mandi di sungai Mandahan. Walaupun demikian Mandangin tetap
berjalan menuju tempat pertapaan setibanya di atas batu besar ia
langsung melakukan pertapaan. Hari demi hari berlalu hingga satu purnama
pun terlewati. Ketika ritual pertapaan selesai tiba-tiba terdengar
suara petir seolah-olah memecah bumi kemudian diiringi dengan angin yang
bertiup sangat kencang dan dahsyat pertanda kesaktian telah diperoleh
Mandangin.
Sebelum Mandangin meninggalkan pertapaan terdengar suara seruan “Hai
Mandangin hari ini telah aku turunkan kesaktianku padamu, gunakanlah
kesaktian itu untuk membela kebenaran”. Sesaat setelah suara seruan
hilang Mandangin pergi dan meninggalkan tempat pertapan dan memulai
perjalanannya untuk mengembara. Ia terus berjalan menyusuri hutan tepi
sungai Mandahan hingga akhirnya ia masuk ke sebuah kampung yang bernama
Perek Rango. Kampung itu dikuasai oleh seorang penguasa yang bernama
Tuman ia sangat jahat dan kejam serta suka menindas lain.
Di kampung itu tidak ada lagi kedamaian semua penduduk tampak
ketakutan ketika melihat Tuman dan gerombolannya. Meski demikian
Mandangin tetap berjalan menyusri kampung untuk mencari tempat
peristirahatan. Ketika sedang duduk melepas lelah di sebuah pondok
kecil, tiba-tiba mandangin melihat seorang gadis berjalan melintasi di
hadapannya. Yang mana perempuan itu adalah istri dari Tuman sang
penguasa yang kejam. Sesat Mandangin tercengang dan merasa wajah
perempuan itu tak asing lagi. Dan ternyata perempuan itu adalah orang
yang ia lihat turun mandi di Sungai Mandahan ketika ia hendak pergi
bertapa……
Angin bertiup sepoi-sepoi udara menjadi semakin sejuk menambah
kenikmatan suasana pada sore itu. belum puas melihat suasana tiba-tiba
datang gerombolan Tuman yang tampak beringas dan kejam dengan menyeret
beberapa warga dan menggotong tiga orang perempuan desa.
Meski sampbil teriak mereka tampak tak berdaya melawan kekuasaan
gerombolan tersebut. Melihat keadaan itu Mandangin langsung berdiri dan
menghampiri gerombolan itu seraya mengatakan “salah seorang dari
gerombolan itu menjawab “Siapa kamu berani-beraninya kamu menantang
kami”! Mandangin menjawab “aku adalah Mandangin dan aku tidak suka
melihat ketidakadilan”.
Mendengar perkataan Mandangin para gerombolan itu marah dan
menghadang Mandangin dengan mandau. Namun Mandangin tidak takut meski ia
punya senjata hingga akhirnya perkelahianpun terjadi. Mandangin
menghantam gerombolan itu dengan jurus-jurusnya hingga sebagian jatuh
terkapar dan terluka karena merasa tak mampu melawan mandangin
gerombolan itu pergi dan melaporkan kejadian itu kepada penguasa kampung
yaitu si Tuman.
Mendengar cerita itu Tuman marah dan mengambil senjata pusakanya
kemudian mencari Mandangin yang berani menantang kekuasaannya dengan
diikuti oleh beberapa gerombolannya. Sampai akhirnya ia menemukan
Mandangin di sebuah rumah makan.
Tanpa basa-basi Tuman langsung menghadang Mandangin dengan senjata
pusakanya. Namun Mandangin tidak menanggapinya hingga akhirnya Tuman
memukulnya dan iapun menghela untuk membela diri. Dengan beringas Tuman
terus memukul Mandangin. Karena sudah tidak tahan dengan perlakuan Toman
Mandangin melakukan perlawanan dan perkalahian terjadi dengan sangat
sengit.
Mereka saling adu kekuatan sihir hingga akhirnya Tuman kehabisan
energi karena terkena pukulan maut Mandangin. Ketika Tuman tak berdaya
tiba-tiba datang seorang perempuan menikamnya dari belakang dengan
menggunakan sebuah belati. Dan ternyata perempuan itu adalah korban
keserakahan dan nafsu birahi Tuman. Saat melihat wajah perempuan itu
Mandangin teringat kembali dengan perempuan yang ia lihat turun mandi di
Sungai Mandahan. Namun ia tetap tak menyapanya. Ia hanya mampu
memandang dari kejauhan.
Melihat Tuman sudah mati masyarakat beramai-ramai menghampiri
Mandangin, mereka mengucapkan terimakasih karena Mandangin mampu
mengalahkan Toman dan membebaskan mereka dari cengkraman dan kekuasaan
sebagai ucapan terimakasih masyarakat bersepakat mengangkat Mandangin
untuk menjadi pemimpin dan pelindung mereka dari kejahatan.
Karena sebagian besar masyarakat penghuni wilayah Perek Ranggo
memintanya memintanya memimpin daerah itu maka Mandangin tak mampu
menolaknya hingga akhirnya ia menjadi pemimpin wilayah Perek Rango yang
arif dan bijaksana sesuai dengan harapan ibunya tercinta.
Semenjak dipimpin oleh Mandangin daerah Perek Rango menjadi daerah
yang aman dan penuh kedamaian yang semua itu dapat dilihat dari
wajah-wajah penduduk yang memancarkan keceriaan dan kebahagiaan.
Setiap hari Mandangin selalu teringat dengan wajah perempuan cantik
yang ia lihat turun mandi di Sungai Mandahan. Untuk menghapus rasa
penasarannya terhadap perempuan itu ia datang ke rumah perempuan itu dan
mengambil perempuan itu untuk menjadi isterinya.
Karena Mandangin,
adalah seorang pria yang tampan dan bijaksana sehingga tak ada perempuan
yang mampu menolak lamarannya.
Akhirnya Mandangin dan perempuan itu menikah dan membina rumah tangga yang bahagia bersama keturunannya.
Daerah Perek Rango selalu dikuasai oleh keturunan Mandangin secara turun
temurun dan daerah itu selalu dalam keadaan damai hingga sekarang.
Konon katanya jika kita ingin melihat daerah itu harus melakukan
pertapaan di sebuah batu besar tempat pertapaan Nyai Rangkas dan
Mandangin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar