Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang ratu bernama Bundo Kanduang, 
yang konon diciptakan bersamaan dengan alam semesta ini (samo tajadi jo 
alamko). Dia adalah timpalan Raja Rum, Raja Tiongkok dan Raja dari Laut.
 Suatu hari Bundo Kanduang menyuruh Kembang Bendahari, seorang dayangnya
 yang setia, untuk membangunkan putranya Dang Tuanku, yang sedang tidur 
di anjungan istana. Kembang Bendahari menolak, karena Dang Tuanku adalah
 Raja Alam, orang yang sakti. 
Bundo Kanduang lalu membangunkan sendiri 
Dang Tuanku, dan berkata bahwa Bendahara sedang mengadakan gelanggang di
 nagarinya Sungai Tarab, untuk memilih suami buat putrinya. Karena 
gelanggang tersebut akan dikunjungi banyak pangeran, marah dan sutan, 
dan putra-putra orang-orang terpandang, Dang Tuanku dan Cindua Mato 
seharusnya ikut serta di dalamnya. Bundo Kanduang memerintahkan Dang 
Tuanku untuk menanyakan apakah Bendahara akan menerima Cindua Mato 
sebagai suami dari putrinya, Puti Lenggo Geni. Setelah menerima 
pengajaran tentang adat Minangkabau dari Bundo Kanduang, Dang Tuanku, 
Cindua Mato dan para pengiringnya berangkat ke Sungai Tarab.
Di Sungai Tarab mereka disambut oleh Bendahara. Dang Tuanku bertanya 
apakah Bendahara bersedia menerima Cindua Mato yang “bodoh dan miskin” 
sebagai menantunya. Sebenarnya Cindua Mato adalah calon menantu ideal, 
dan karena itu lamaran tersebut diterima. Dang Tuanku kemudian 
berbincang-bincang dengan Bendahara, yang merupakan ahli adat di dalam 
Basa Ampek Balai, membahas adat Minangkabau dan apakah telah terjadi 
perubahan dari adat nenek moyang. Menurut Bendahara prinsip-prinsip yang
 diwariskan dari perumus adat Datuk Ketemanggungan dan Datuk Perpatih 
Nan Sebatang tetap tak berubah.
Sementara itu Cindua Mato mendengar pergunjingan di pasar bahwa Puti 
Bungsu, tunangan Dang Tuanku, akan dinikahkan dengan Imbang Jayo, Raja 
Sungai Ngiang, sebuah negeri di rantau timur Minangkabau. Menurut kabar 
itu, di sana tersebar berita bahwa Dang Tuanku diasingkan karena 
menderita penyakit. Puti Bungsu adalah putri Rajo Mudo, saudara Bundo 
Kanduang, yang memerintah sebagai wakil Pagaruyung di Ranah Sikalawi, 
tetangga Sungai Ngiang. Ketika menemukan bahwa cerita ini disebarkan 
oleh kaki tangan Imbang Jayo, Cindua Mato bergegas mendesak Dang Tuanku 
untuk meminta permisi pada Bendahara dan kembali ke Pagaruyung. 
Gunjingan seperti itu adalah hinaan kepada Raja Alam.
Di Pagaruyung Cindua Mato menceritakan Dang Tuanku dan Bundo Kanduang
 apa yang didengarnya di pasar. Bundo Kanduang naik pitam, namun sebelum
 bertindak dia mesti berunding dulu dengan Basa Ampek Balai. Dalam 
rapat-rapat berikutnya para menteri tersebut berusaha menengahi Bundo 
Kanduang pada satu pihak, yang tak dapat menerima hinaan dari 
saudaranya, dan Dang Tuanku beserta Cindua Mato pada pihak lain, yang 
menganjurkan kesabaran. Pertemuan tersebut berakhir dengan kesepakatan 
bahwa Cindua Mato akan berangkat sebagai utusan Bundo Kanduang dan Dang 
Tuanku ke Sikalawi, dengan membawa Sibinuang, seekor kerbau sakti, 
sebagai mas kimpoi untuk Puti Bungsu.
Dengan menunggang kuda sakti, Si Gumarang, dan ditemani kerbau sakti,
 Si Binuang, Cindua Mato berjalan menuju Ranah Sikalawi. Di perbatasan 
sebelah timur, di dekat Bukit Tambun Tulang, dia menemukan 
tengkorak-tengkorak berserakan. Setelah membacakan jampi-jampi, dan 
berkat tuah Dang Tuanku, tengkorak-tengkorak tersebut mampu menceritakan
 kisah mereka. Mereka sebelumnya adalah para pedagang yang bepergian 
melalui bukit Tambun Tulang dan dibunuh para penyamun. Mereka mendesak 
Cindua Mato untuk berbalik dan kembali, namun Cindua Mato menolak. Tak 
lama sesudahnya para penyamun menyerang, namun dengan bantuan Si 
Binuang, ia berhasil mengalahkan mereka. Para penyamun tersebut mengaku 
bahwa Imbang Jayo, raja Sungai Ngiang, mempekerjakan mereka tak hanya 
buat memperkaya dirinya, tetapi juga untuk memutus hubungan antara 
Pagaruyung dan Rantau Timur, dan dengan demikian melempangkan rencananya
 untuk mengawini Puti Bungsu.
Kedatangan Cindua Mato menggembirakan keluarga Rajo Mudo, yang 
berduka mendengar kabar penyakit Dang Tuanku. Kehadiran Cindua Mato 
dianggap sebagai pertanda restu Bundo Kanduang atas perkimpoian yang 
hendak dilangsungkan.
Dengan berpura-pura kesurupan Cindua Mato berhasil bertemu empat mata
 dengan Puti Bungsu tanpa memancing kecurigaan keluarga Rajo Mudo. 
Mereka percaya hanya Puti Bungsu saja yang mampu menenangkannya. Cindua 
Mato bertutur pada Puti Bungsu bahwa Dang Tuanku mengirimnya untuk 
membawanya ke Pagaruyung, karena ia sudah ditakdirkan untuk menikah 
dengan Dang Tuanku. Dalam pesta perkimpoian yang berlangsung, saat 
Imbang Jayo tengah berperan sebagai pengantin pria, Cindua Mato 
melakukan hal-hal ajaib yang menarik perhatian lain dan menculik Puti 
Bungsu. Cindua Mato membawanya ke Padang Ganting, tempat Tuan Kadi, 
anggota Basa Ampek Balai yang mengurus soal-soal keagamaan bersemayam.
Dengan menculik Puti Bungsu Cindua Mato telah melanggar hukum dan 
melampaui wewenangnya sebagai utusan Pagaruyung. Tuan Kadi lalu 
memanggil anggota Basa Ampek Balai lainnya untuk membahas pelanggaran 
yang dilakukan Cindua Mato. Namun pada pertemuan yang diadakan Cindua 
Mato menolak menjelaskan perbuatannya.
Basa Ampek Balai lalu menceritakan kejadian ini pada Bundo Kanduang, 
yang murka pada kelakuan Cindua Mato. Namun ia masih tetap menolak 
menjawab. Keempat menteri ini lalu memutuskan berunding dengan Raja Nan 
Duo Selo, Raja Adat dan Raja Ibadat. Keduanya, mengetahui latar belakang
 kejadian tersebut, sambil tersenyum menyuruh keempat menteri tersebut 
menyerahkan keputusan kepada Dang Tuanku, Raja Alam.
Pada pertemuan berikutnya perdebatan terjadi antara Bundo Kanduang, 
yang berteguh mempertahankan adat raja-raja, dan Dang Tuanku, yang 
menganjurkan memeriksa alasan di balik tindakan Cindua Mato. Imbang Jayo
 telah menghina Dang Tuanku dengan berusaha mengawini tunangannya, dan 
menceritakan fitnah. Sekarang giliran Imbang Jayo buat dihina. Imbang 
Jayo juga mempekerjakan penyamun untuk memperkaya dirinya dan memutus 
hubungan antara Minangkabau dan rantau timurnya. Cindua Mato tak layak 
dihukum karena dia hanya alat untuk utang malu dibayar malu.
Cindua Mato dilepaskan dari hukuman, dan rapat itu kemudian membahas 
perkimpoian antara Cindua Mato dan Puti Lenggo Geni, dan juga antara 
Dang Tuanku dan Puti Bungsu. Setelah masa persiapan, perkimpoian 
kerajaan tersebut dilangsungkan di Pagaruyung, dilanjutkan dengan pesta 
yang dihadiri oleh banyak pangeran dan raja dari segenap penjuru Pulau 
Perca.
Sementara itu, Imbang Jayo yang merasa dipermalukan oleh Cindua Mato 
bersiap-siap menyerang Pagaruyung. Dengan senjata pusakanya, Cermin 
Terus (camin taruih), dia menghancurkan sebagian negeri Pagaruyung. 
Cermin itu akhirnya dipecahkan oleh panah sakti Cindua Mato. Ketika 
Imbang Jayo sibuk memperkuat pasukannya Bundo Kanduang dan Dang Tuanku 
meminta Cindua Mato mengungsi ke Inderapura, negeri di rantau Barat, dan
 dengan demikian tidak ada alasan lagi buat Imbang Jayo memerangi 
Pagaruyung.
Geram karena gagal membalas dendam, Imbang Jayo lalu protes pada Rajo
 Nan Duo Selo. Pada pertemuan yang dipimpin oleh kedua raja tersebut, 
dan dihadiri oleh keempat menteri, Imbang Jayo mendakwa bahwa seorang 
anggota keluarga kerajaan telah mempermalukan dirinya, sebuah 
pelanggaran yang tak termaafkan. Namun raja-raja tersebut bertanya: 
siapa yang memulai penghinaan tersebut, apa bukti dakwaan Imbang Jayo? 
Tuduhan terhadap anggota kerajaan tanpa bukti cukup bukan soal 
main-main. Kedua raja akhirnya memutuskan Imbang Jayo dihukum mati.
Begitu mengetahui anaknya disuruh bunuh oleh Rajo Duo Selo, ayah 
Imbang Jayo, Tiang Bungkuak, bersiap-siap membalas dendam. Cindua Mato 
kembali dari Inderapura, dan Dang Tuanku memerintahkannya melawan Tiang 
Bungkuak. Namun bila Cindua Mato gagal membunuhnya, dia harus bersedia 
menjadi hamba Tiang Bungkuak, agar Istana Pagaruyung terlepas dari 
ancaman.
Pada suatu malam, saat menunggu serangan Tiang Bungkuak, Dang Tuanku 
bermimpi bertemu seorang malaikat dari langit yang berkata dia, Bundo 
Kanduang dan Puti Bungsu sudah waktunya meninggalkan dunia yang penuh 
dosa ini. Pagi harinya Dang Tuanku mengisahkan mimpinya pada Bundo 
Kanduang dan Basa Ampek Balai. Mengetahui waktu mereka sudah dekat, 
mereka mengangkat Cindua Mato sebagai Raja Muda.
Cindua Mato menunggu Tiang Bungkuak di luar Pagaruyung, namun dalam 
duel yang berlangsung dia tak mampu membunuh Tiang Bungkuak. Cindua Mato
 lalu menyerah pada kesatria tua itu, dan mengikutinya ke Sungai Ngiang 
sebagai budak. Pada saat yang sama sebuah kapal terlihat melayang di 
udara membawa Dang Tuanku dan anggota keluarga kerajaan lainnya ke 
langit.
Suatu hari, ketika Tiang Bungkuak sedang tidur siang, Cindua Mato 
membaca jampi-jampi dan berhasil mengungkap rahasia kekebalan Tiang 
Bungkuak dari mulutnya sendiri. Ternyata Tiang Bungkuak hanya dapat 
dibunuh menggunakan keris bungkuk (karih bungkuak) yang disembunyikan di
 bawah tiang utama rumahnya. Cindua Mato mencuri keris itu lalu 
memancing Tiang Bungkuak agar berkelahi dengannya. Dalam duel tersebut 
Cindua Mato berhasil membunuh Tiang Bungkuak dengan keris curiannya.
Setelah kematian Tiang Bungkuak para bangsawan Sungai Ngiang 
mengangkat Cindua Mato menjadi raja. Kemudian dia juga diangkat sebagai 
raja Sikalawi, setelah Rajo Mudo turun tahta. Cindua Mato menikahi adik 
Puti Bungsu, Puti Reno Bulan. Dari hasil pernikahannya ini Cindua Mato 
memperoleh anak perempuan dan laki-laki yang diberi nama Sutan Lembang 
Alam.
Setelah beberapa lama menghabiskan waktu di Rantau Timur, Cindua Mato
 kembali ke Pagaruyung, untuk memerintah sebagai Raja Minangkabau. Dari 
perkimpoiannya dengan Puti Lenggo Geni ia mendapatkan anak bernama Sutan
 Lenggang Alam.
 












 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar